Halaman

Jumat, 11 Januari 2013

Pendidikan

untuk mendapatkan informasi tentang pendidikan dan matematika klik  situs d bawah ini:

http://mathgoodies.com/
http://www.belajar-gratis.com/
http://pendidikan.net/index_n.html

Aritmatika Sosial

Bangun Ruang

berikut ini sekilas tentang jaring - jaring kubus
http://www.4shared.com/office/Jo2y2Qi9/Jaring-Jaring_Kubus__A_410_090.html

pendidikan sebagai investasi jangka panjang


Pendidikan sebagai Investasi Jangka Panjang 
Profesor Toshiko Kinosita mengemukakan bahwa sumber daya manusia Indonesia masih sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi. Penyebabnya karena pemerintah selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting. Tidak ditempatkannya pendidikan sebagai prioritas terpenting karena masyarakat Indonesia, mulai dari yang awam hingga politisi dan pejabat pemerintah, hanya berorientasi mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berfikir panjang (Kompas, 24 Mei 2002).
Pendapat Guru Besar Universitas Waseda Jepang tersebut sangat menarik untuk dikaji mengingat saat ini pemerintah Indonesia mulai melirik pendidikan sebagai investasi jangka panjang, setelah selama ini pendidikan terabaikan. Salah satu indikatornya adalah telah disetujuinya oleh MPR untuk memprioritaskan anggaran pendidikan minimal 20 % dari APBN atau APBD. Langkah ini merupakan awal kesadaran pentingnya pendidikan sebagai investasi jangka pangjang. Sedikitnya terdapat tiga alasan untuk memprioritaskan pendidikan sebagai investasi jangka panjang.
Pertama, pendidikan adalah alat untuk perkembangan ekonomi dan bukan sekedar pertumbuhan ekonomi. Pada praksis manajemen pendidikan modern, salah satu dari lima fungsi pendidikan adalah fungsi teknis-ekonomis baik pada tataran individual hingga tataran global. Fungsi teknis-ekonomis merujuk pada kontribusi pendidikan untuk perkembangan ekonomi. Misalnya pendidikan dapat membantu siswa untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup dan berkompetisi dalam ekonomi yang kompetitif.
Secara umum terbukti bahwa semakin berpendidikan seseorang maka tingkat pendapatannya semakin baik. Hal ini dimungkinkan karena orang yang berpendidikan lebih produktif bila dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan. Produktivitas seseorang tersebut dikarenakan dimilikinya keterampilan teknis yang diperoleh dari pendidikan. Oleh karena itu salah satu tujuan yang harus dicapai oleh pendidikan adalah mengembangkan keterampilan hidup. Inilah sebenarnya arah kurikulum berbasis kompetensi, pendidikan life skill dan broad based education yang dikembangkan di Indonesia akhir-akhir ini. Di Amerika Serikat (1992) seseorang yang berpendidikan doktor penghasilan rata-rata per tahun sebesar 55 juta dollar, master 40 juta dollar, dan sarjana 33 juta dollar. Sementara itu lulusan pendidikan lanjutan hanya berpanghasilan rata-rata 19 juta dollar per tahun. Pada tahun yang sama struktur ini juga terjadi di Indonesia. Misalnya rata-rata, antara pedesaan dan perkotaan, pendapatan per tahun lulusan universitas 3,5 juta rupiah, akademi 3 juta rupiah, SLTA 1,9 juta rupiah, dan SD hanya 1,1 juta rupiah.
Para penganut teori human capital berpendapat bahwa pendidikan adalah sebagai investasi sumber daya manusia yang memberi manfaat moneter ataupun non-moneter. Manfaat non-meneter dari pendidikan adalah diperolehnya kondisi kerja yang lebih baik, kepuasan kerja, efisiensi konsumsi, kepuasan menikmati masa pensiun dan manfaat hidup yang lebih lama karena peningkatan gizi dan kesehatan. Manfaat moneter adalah manfaat ekonomis yaitu berupa tambahan pendapatan seseorang yang telah menyelesaikan tingkat pendidikan tertentu dibandingkan dengan pendapatan lulusan pendidikan dibawahnya. (Walter W. McMahon dan Terry G. Geske, Financing Education: Overcoming Inefficiency and Inequity, USA: University of Illionis, 1982, h.121).
Sumber daya manusia yang berpendidikan akan menjadi modal utama pembangunan nasional, terutama untuk perkembangan ekonomi. Semakin banyak orang yang berpendidikan maka semakin mudah bagi suatu negara untuk membangun bangsanya. Hal ini dikarenakan telah dikuasainya keterampilan, ilmu pengetahuan dan teknologi oleh sumber daya manusianya sehingga pemerintah lebih mudah dalam menggerakkan pembangunan nasional.
Nilai
Balik Pendidikan
Kedua, investasi pendidikan memberikan nilai balik (rate of return) yang lebih tinggi dari pada investasi fisik di bidang lain. Nilai balik pendidikan adalah perbandingan antara total biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan dengan total pendapatan yang akan diperoleh setelah seseorang lulus dan memasuki dunia kerja. Di negara-negara sedang berkembang umumnya menunjukkan nilai balik terhadap investasi pendidikan relatif lebih tinggi dari pada investasi modal fisik yaitu 20 % dibanding 15 %. Sementara itu di negara-negara maju nilai balik investasi pendidikan lebih rendah dibanding investasi modal fisik yaitu 9 % dibanding 13 %. Keadaan ini dapat dijelaskan bahwa dengan jumlah tenaga kerja terdidik yang terampil dan ahli di negara berkembang relatif lebih terbatas jumlahnya dibandingkan dengan kebutuhan sehingga tingkat upah lebih tinggi dan akan menyebabkan nilai balik terhadap pendidikan juga tinggi (Ace Suryadi, Pendidikan, Investasi SDM dan Pembangunan: Isu, Teori dan Aplikasi. Balai Pustaka: Jakarta, 1999, h.247).
Pilihan investasi pendidikan juga harus mempertimbangkan tingkatan pendidikan. Di Asia nilai balik sosial pendidikan dasar rata-rata sebesar 27 %, pendidikan menengah 15 %, dan pendidikan tinggi 13 %. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka manfaat sosialnya semakin kecil. Jelas sekali bahwa pendidikan dasar memberikan manfaat sosial yang paling besar diantara tingkat pendidikan lainnya. Melihat kenyataan ini maka struktur alokasi pembiayaan pendidikan harus direformasi. Pada tahun 1995/1996 misalnya, alokasi biaya pendidikan dari pemerintah Indonesia untuk Sekolah Dasar Negeri per siswa paling kecil yaitu rata-rata hanya sekirat 18.000 rupiah per bulan, sementara itu biaya pendidikan per siswa di Perguruan Tinggi Negeri mendapat alokasi sebesar 66.000 rupiah per bulan. Dirjen Dikti, Satrio Sumantri Brojonegoro suatu ketika mengemukakan bahwa alokasi dana untuk pendidikan tinggi negeri 25 kali lipat dari pendidikan dasar. Hal ini menunjukkan bahwa biaya pendidikan yang lebih banyak dialokasikan pada pendidikan tinggi justru terjadi inefisiensi karena hanya menguntungkan individu dan kurang memberikan manfaat kepada masyarakat.
Reformasi alokasi biaya pendidikan ini penting dilakukan mengingat beberapa kajian yang menunjukkan bahwa mayoritas yang menikmati pendidikan di PTN adalah berasal dari masyarakat mampu. Maka model pembiayaan pendidikan selain didasarkan pada jenjang pendidikan (dasar vs tinggi) juga didasarkan pada kekuatan ekonomi siswa (miskin vs kaya). Artinya siswa di PTN yang berasal dari keluarga kaya harus dikenakan biaya pendidikan yang lebih mahal dari pada yang berasal dari keluarga miskin. Model yang ditawarkan ini sesuai dengan kritetia equity dalam pembiayaan pendidikan seperti yang digariskan Unesco.
Itulah sebabnya Profesor Kinosita menyarankan bahwa yang diperlukan di Indonesia adalah pendidikan dasar dan bukan pendidikan yang canggih. Proses pendidikan pada pendidikan dasar setidaknnya bertumpu pada empat pilar yaitu learning to know, learning to do, leraning to be dan learning live together yang dapat dicapai melalui delapan kompetensi dasar yaitu membaca, menulis, mendengar, menutur, menghitung, meneliti, menghafal dan menghayal. Anggaran pendidikan nasional seharusnya diprioritaskan untuk mengentaskan pendidikan dasar 9 tahun dan bila perlu diperluas menjadi 12 tahun. Selain itu pendidikan dasar seharusnya “benar-benar” dibebaskan dari segala beban biaya. Dikatakan “benar-benar” karena selama ini wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah tidaklah gratis. Apabila semua anak usia pendidikan dasar sudah terlayani mendapatkan pendidikan tanpa dipungut biaya, barulah anggaran pendidikan dialokasikan untuk pendidikan tingkat selanjutnya.
Fungsi
Non Ekonomi
Ketiga, investasi dalam bidang pendidikan memiliki banyak fungsi selain fungsi teknis-ekonomis yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan. Fungsi sosial-kemanusiaan merujuk pada kontribusi pendidikan terhadap perkembangan manusia dan hubungan sosial pada berbagai tingkat sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan dirinya secara psikologis, sosial, fisik dan membantu siswa mengembangkan potensinya semaksimal mungkin (Yin Cheong Cheng, School Effectiveness and School-Based Management: A Mechanism for Development, Washington D.C: The Palmer Press, 1996, h.7).
Fungsi politis merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan politik pada tingkatan sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan sikap dan keterampilan kewarganegaraan yang positif untuk melatih warganegara yang benar dan bertanggung jawab. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mengerti hak dan kewajibannya sehingga wawasan dan perilakunya semakin demoktratis. Selain itu orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran dan tanggung jawab terhadap bangsa dan negara lebih baik dibandingkan dengan yang kurang berpendidikan.
Fungsi budaya merujuk pada sumbangan pendidikan pada peralihan dan perkembangan budaya pada tingkatan sosial yang berbeda. Pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan kreativitasnya, kesadaran estetis serta untuk bersosialisasi dengan norma-norma, nilai-nilai dan keyakinan sosial yang baik. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mampu menghargai atau menghormati perbedaan dan pluralitas budaya sehingga memiliki sikap yang lebih terbuka terhadap keanekaragaman budaya. Dengan demikian semakin banyak orang yang berpendidikan diharapkan akan lebih mudah terjadinya akulturasi budaya yang selanjutnya akan terjadi integrasi budaya nasional atau regional.
Fungsi kependidikan merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan dan pemeliharaan pendidikan pada tingkat sosial yang berbeda. Pada tingkat individual pendidikan membantu siswa belajar cara belajar dan membantu guru cara mengajar. Orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran untuk belajar sepanjang hayat (life long learning), selalu merasa ketinggalan informasi, ilmu pengetahuan serta teknologi sehingga terus terdorong untuk maju dan terus belajar.
Di kalangan masyarakat luas juga berlaku pendapat umum bahwa semakin berpendidikan maka makin baik status sosial seseorang dan penghormatan masyarakat terhadap orang yang berpendidikan lebih baik dari pada yang kurang berpendidikan. Orang yang berpendidikan diharapkan bisa menggunakan pemikiran-pemikirannya yang berorientasi pada kepentingan jangka panjang. Orang yang berpendidikan diharapkan tidak memiliki kecenderungan orientasi materi/uang apalagi untuk memperkaya diri sendiri.
Kesimpulan
Jelaslah bahwa investasi dalam bidang pendidikan tidak semata-mata untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi tetapi lebih luas lagi yaitu perkembangan ekonomi. Selama orde baru kita selalu bangga dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu hancur lebur karena tidak didukung oleh adanya sumber daya manusia yang berpendidikan. Orde baru banyak melahirkan orang kaya yang tidak memiliki kejujuran dan keadilan, tetapi lebih banyak lagi melahirkan orang miskin. Akhirnya pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati sebagian orang dan dengan tingkat ketergantungan yang amat besar.
Perkembangan ekonomi akan tercapai apabila sumber daya manusianya memiliki etika, moral, rasa tanggung jawab, rasa keadilan, jujur, serta menyadari hak dan kewajiban yang kesemuanya itu merupakan indikator hasil pendidikan yang baik. Inilah saatnya bagi negeri ini untuk merenungkan bagaimana merencanakan sebuah sistem pendidikan yang baik untuk mendukung perkembangan ekonomi. Selain itu pendidikan juga sebagai alat pemersatu bangsa yang saat ini sedang diancam perpecahan. Melalui fungsi-fungsi pendidikan di atas yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan maka negeri ini dapat disatukan kembali. Dari paparan di atas tampak bahwa pendidikan adalah wahana yang amat penting dan strategis untuk perkembangan ekonomi dan integrasi bangsa. Singkatnya pendidikan adalah sebagai investasi jangka panjang yang harus menjadi pilihan utama.
Bila demikian, ke arah mana pendidikan negeri ini harus dibawa? Bagaimana merencanakan sebuah sistem pendidikan yang baik? Marilah kita renungkan bersama.

Pembelajaran Aktif


PEMBELAJARAN AKTIF
(ACTIVE LEARNING)

Oleh : Rohmad Sucipto


1.   Pendahuluan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 40 Ayat (2) menyatakan bahwa Guru dan tenaga kependidikan berkewajiban menciptakan  suasana  pendidikan  yang  bermakna,  menyenangkan,  kreatif, dinamis dan dialogis. Demikian pula Peranturan Pemerinah Nomor 19 Tahun 2005 Pasal 19 Ayat (1) menyatakan bahwa proses pembelajaran  pada  satuan  pendidikan  diselenggarakan  secara  interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif,  memberikan ruang    gerak  yang  cukup  bagi  prakarsa,  kreativitas  dan kemandirian            sesuai dengan bakat, minat dan  perkembangan  fisik  serta  psikologi siswa.
Kedua perundang-undangan di atas menuntut agar dalam proses pembelajaran guru dapat menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, dinamis dan dialogis serta memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif. Hal ini senada dengan Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2010 tentang percepatan pelaksanaan prioritas pembangunan nasional tahun 2010 pada prioritas 2 tentang pendidikan untuk program penguatan metodologi dan kurikulum memiliki sasaran terwujudnya kurikulum dan metode pembelajaran aktif. Sedangkan paradigma pembelajaran yang beberapa tahun terakhir dikembangkan tidak hanya pembelajaran aktif, melainkan pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan (PAKEM).
Oleh sebab itu untuk dapat melaksanakan amanat perundang-undangan tersebut guru hendaknya mulai mengubah paradigma dari paradigma guru mengajar menjadi siswa belajar. Dengan kata lain aktivitas guru di dalam kelas lebih dititik beratkan pada bagaimana guru bisa membelajarkan siswa sehingga para siswa bisa aktif belajar dan peran guru adalah sebagai fasilitatornya. Pemerintah menyadari bahwa untuk mengubah paradigma guru mengajar menjadi siswa belajar tersebut tidaklah mudah. Program penguatan metodolgi pembelajaran yang dicanangkan Presiden adalah salah satu upaya pemerintah untuk mewujudkan pelaksanaan metode pembelajaran aktif oleh para guru di samping banyak kegiatan-kegiatan lainya dalam rangka mewujudkan pembelajaran aktif tersebut.

2.   Pembelajaran Aktif
Pembelajaran aktif merupakan pembelajaran  yang lebih berpusat  pada  siswa (student  centered  )  daripada berpusat  pada  guru  (teacher  centered).  Untuk mengaktifkan  siswa,  kata  kunci  yang  dapat  dipegang  guru adalah adanya kegiatan yang dirancang untuk dilakukan siswa baik kegiatan berpikir  (minds-on)  dan  berbuat  (hands-on).  Fungsi  dan  peran  guru  lebih banyak sebagai fasilitator.
Perbedaan pembelajaran yang berpusat pada guru dan  berpusat pada siswa  adalah sebagai berikut :
Pembelajaran yang berpusat
pada Guru
Pembelajaran yang berpusat
pada siswa
·      Guru sebagai pengajar

·      Penyampaian materi pelajaran  dominan melalui ceramah
·      Guru menentukan apa yang mau diajarkan dan bagaimana siswa mendapatkan informasi yang mereka pelajari

·      Guru sebagai fasilitator dan bukan
penceramah
·      Fokus pembelajaran pada siswa  bukan Guru
·      Siswa aktif belajar
·      Siswa mengontrol proses belajar dan menghasilkan karya sendiri  tidak mengutip dari Guru
·      Pembelajaran bersifat interaktif

Perbedaan  kegiatan  siswa  dan  Guru  pada  kegiatan pembelajaran yang  berpusat  pada guru dan pada siswa adalah sebagai berikut :
Kegiatan guru pada strategi mengajar yang berpusat pada Guru
Kegiatan siswa pada strategi mengajar yang berpusat pada siswa
·         Membacakan 
·         Menjelaskan 
·         Memberikan instruksi
·         Memberikan informasi
·         Berceramah
·         Pengarahan tugas-tugas
·         Membimbing dalam tanya jawab

·         Bermain peran
·         Menulis dengan kata-kata sendiri
·         Belajar kelompok
·         Memecahkan masalah
·         Diskusi/berdebat
·         Mempraktikkan keterampilan
·         Melakukan kegiatan penyelidikan


Menurut Bonwell (1995), pembelajaran aktif memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut:
·         Penekanan proses pembelajaran bukan pada penyampaian informasi oleh pengajar melainkan pada pengembangan ketrampilan pemikiran analitis dan kritis terhadap topik atau permasalahan yang dibahas,
·         Siswa tidak hanya mendengarkan pelajaran  secara pasif tetapi mengerjakan sesuatu yang berkaitan dengan materi pelajaran,
·         Penekanan pada eksplorasi nilai-nilai dan sikap-sikap berkenaan dengan materi pelajaran,
·         Siswa lebih banyak dituntut untuk berpikir kritis, menganalisa dan melakukan evaluasi,
·         Umpan-balik yang lebih cepat akan terjadi pada proses pembelajaran.
Menurut Anderson  pada hakekatnya belajar matematika adalah berpikir dan berbuat atau mengerjakan matematika. Disinilah makna dari strategi pembelajaran matematika adalah strategi pembelajaran aktif, yang ditandai oleh dua faktor:
a.   Interaksi optimal antara seluruh komponen dalam proses belajar mengajar, di antaranya antara dua komponen utama yaitu guru dan siswa. Perhatikan diagram berikut:
Guru                                    Guru                             Guru                                      Guru























         Siswa   Siswa    Siswa   Siswa   Siswa    Siswa      Siswa         Siswa
                                                                             Siswa         Siswa      Siswa        Siswa
                                                              Siswa
                                                                                       Siswa                       Siswa
             Interaksi rendah                                                                            Interaksi tinggi

b.  Berfungsinya secara optimal seluruh “sense” yang meliputi  indera, emosi, karsa, karya, dan nalar. Hal itu dapat berlangsung antara lain jika proses itu melibatkan aspek visual, audio, maupun teks.

Di samping adanya interaksi antara guru dan siswa atau antar siswa seperti digambar kan di atas, interaksi juga dapat terjadi antara siswa dengan sumber dan media belajar. Faktor yang  memungkinkan terjadinya interaksi yang terjadi antara guru dan siswa berkaitan atau bersumber pada bervariasinya berbagai situasi belajar mengajar yang dikembangkan oleh guru salah satu diantaranya ialah metode yang digunakan guru. Pengelolaan kelas diperlukan untuk membangkitkan minat belajar siswa dan meningkatkan  keaktifan  siswa  belajar,  ruang  kelas dapat  dibuat  menarik , misalnya dengan  cara  mengubah  tata  letak/formasi  meja dan kursi siswa.




3.   Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan (PAKEM)
PAKEM adalah singkatan dari Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan. Aktif dimaksudkan bahwa dalam proses pembelajaran guru harus menciptakan suasana sedemikian rupa sehingga siswa aktif bertanya, mempertanyakan, dan mengemukakan gagasan. Kreatif dimaksudkan agar guru menciptakan kegiatan belajar yang beragam sehingga memenuhi berbagai tingkat kemampuan siswa. Menyenangkan adalah suasana belajar-mengajar yang menyenangkan sehingga siswa memusatkan perhatiannya secara penuh pada belajar sehingga waktu curah perhatiannya (“time on task”) tinggi.
Menurut hasil penelitian, tingginya waktu curah perhatian terbukti meningkatkan hasil belajar. Keadaan aktif dan menyenangkan tidaklah cukup jika proses pembelajaran tidak efektif, yaitu tidak menghasilkan apa yang harus dikuasai siswa setelah proses pembelajaran berlangsung, sebab pembelajaran memiliki sejumlah tujuan pembelajaran yang harus dicapai. Jika pembelajaran hanya aktif dan menyenangkan tetapi tidak efektif, maka pembelajaran tersebut tak ubahnya seperti bermain biasa.
Secara ringkas PAKEM dapat diungkapkan sebagai berikut:
Dari segi guru
A = Aktif  ,  guru  aktif :
   Memantau kegiatan belajar siswa
   Memberi umpan balik
   Mengajukan pertanyaan yang menantang
   Mempertanyakan gagasan siswa
K = Kreatif , guru :
   Mengembangkan kegiatan yang beragam
   Membuat alat bantu belajar sederhana
E = Efektif , pembelajaran :
   Mencapai tujuan pembelajaran
M = Menyenangkan , pembelajaran :
   Tidak membuat anak takut
   takut salah
   takut ditertawakan
   takut dianggap sepele
Dari Segi Siswa
A = Aktif , siswa aktif :
   Bertanya
   Mengemukakan gagasan
   Mempertanyakan gagasan orang lain dan gagasannya
K = Kreatif , siswa :
     Merancang/membuat sesuatu
     Menulis/mengarang
     Menemukan trik pemecahan masalah baru.
E = Efektif , siswa :
     Menguasai keterampilan yang diperlukan
M = Menyenangkan pembelajaran membuat siswa :
   Berani mencoba/berbuat
   Berani bertanya
   Berani mengemukakan pendapat
   Berani mempertanyakan gagasan orang lain
PAKEM harus diperlihatkan dengan berbagai kegiatan yang terjadi selama kegiatan pembelajaran. Pada saat yang sama, gambaran tersebut menunjukkan kemampuan yang perlu dikuasai guru untuk menciptakan keadaan tersebut. Berikut adalah tabel beberapa contoh kegiatan kegiatan pembelajaran dan kemampuan guru yang besesuaian.
Kemampuan Guru
Kegiatan Pembelajaran
Guru merancang dan mengelola kegiatan pembelajaran yang mendorong siswa untuk berperan aktif dalam pembelajaran
Guru melaksanakan pembelajaran dalam kegiatan yang beragam, misalnya:
·         Percobaan
·         Diskusi kelompok
·         Memecahkan masalah
·         Mencari informasi
·         Menulis laporan/cerita/puisi
·         Berkunjung keluar kelas
Guru menggunakan alat bantu dan sumber yang beragam.
Sesuai mata pelajaran, guru menggunakan, misalnya:
·         Alat yang tersedia atau yang dibuat sendiri
·         Gambar
·         Studi kasus
·         Nara sumber
·         Lingkungan
Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan keterampilan
Siswa:
·         Melakukan percobaan, pengamatan, atau wawancara
·         Mengumpulkan data/jawaban dan mengolahnya sendiri
·         Menarik kesimpulan
·         Memecahkan masalah, mencari rumus sendiri.
·         Menulis laporan hasil karya lain dengan kata-kata sendiri.
Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasannya sendiri secara lisan atau tulisan
Melalui:
·         Diskusi
·         Lebih banyak pertanyaan terbuka
·         Hasil karya yang merupakan anak sendiri
Guru menyesuaikan bahan dan kegiatan belajar dengan kemampuan siswa
   Siswa dikelompokkan sesuai dengan kemampuan (untuk kegiatan tertentu)
  Bahan pelajaran disesuaikan dengan kemampuan kelompok tersebut.
  Siswa diberi tugas perbaikan atau pengayaan.

Guru mengaitkan KBM dengan pengalaman siswa sehari-hari.
·   Siswa menceritakan atau memanfaatkan pengalamannya sendiri.
·  Siswa menceritakan atau memanfaatkan pengalamannya sendiri.
·  Siswa menerapkan hal yang dipelajari dalam kegiatan sehari-hari Siswa menerapkan hal yang dipelajari dalam kegiatan sehari-hari   Siswa menceritakan atau memanfaatkan pengalamannya sendiri.
·   Siswa menceritakan atau memanfaatkan pengalamannya sendiri.
·   Siswa menerapkan hal yang dipelajari dalam kegiatan sehari-hari  S iswa menerapkan hal yang dipelajari dalam kegiatan sehari-hari Siswa menceritakan atau memanfaatkan pengalamannya sendiri.
·    Siswa menerapkan hal yang dipelajari dalam kegiatan sehari-hari Siswa menceritakan atau memanfaatkan pengalamannya sendiri.
·   Siswa menerapkan hal yang dipelajari dalam kegiatan sehari-hari
Menilai KBM dan kemajuan belajar siswa secara terus-menerus
·  Guru memantau kerja siswa.
·  Guru memberikan umpan balik.

4.   Beberapa Metode dan Model dalam Pembelajaran Aktif Mata Pelajaran matematika
a.      Diskusi
Ada diskusi kelas yang dipimpin oleh guru atau salah seorang siswa; ada diskusi kelompok pasangan (dua anggota), diskusi kelompok (3-6 orang) dan ada diskusi dinamika kelompok yaitu, mulai dari 2 orang, kemudian setiap 2 kelompok dari 2 orang tadi, bergabung menjadi 4 orang, kemudian setiap 2 kelompok dari 4 orang itu bergabung lagi menjadi 8 orang. Pada setiap diskusi hendaknya diakhiri dengan pelaporan hasil diskusi dalam sidang pleno.
Metode diskusi perlu dikembangkan sebagai salah satu bentuk kegiatan yang menunjang pada keterampilan hidup (life skill)  yang berkaitan dengan kemampuan umum yang harus dimiliki setiap warga masyarakat, karena life skill di SD memang lebih terfokus pada pengembangan kemampuan siswa untuk bersosialisasi, berinteraksi sosial dan keterampilan-keterampilan hidup lainnya dalammasyarakat.

b.      Penemuan Terbimbing
Dalam menggunakan metode penemuan terbimbing, peranan guru adalah: menyatakan persoalan, kemudian membimbing siswa untuk menemukan penyelesaian dari persoalan itu dengan perintah-perintah atau dengan lembar kerja. Siswa mengikuti pertunjuk dan menemukan sendiri penyelesaiannya.
Penemuan terbimbing biasanya dilakukan dengan bahan yang dikembangkan pembelajarannya secara induktif. Guru harus yakin benar bahwa bahan “yang ditemukan” sungguh secara matematis dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Seringkali peranan guru dalam penemuan terbimbing diungkapkan dalam lembar kerja penemuan terbimbing. Lembar kerja ini biasanya digunakan dalam memberikan bimbingan kepada siswa menemukan konsep atau terutama prinsip (rumus, sifat). Penyusunan lembar kerja jenis ini biasanya diawali dari guru menyiapkan secara lengkap tahap demi tahap dalam menjelaskan adanya suatu sifat atau prinsip atau rumus. Penjelasan ini dituang dalam suatu tulisan secara lengkap. Kemudian dipikirkan, jika penjelasan itu dilakukan di kelas, dan dilakukan dengan tanya jawab, dicatat di bagian manakah yang kiranya perlu digunakan sebagai bahan tanya jawab. Bagian yang ditanyakan ini dapat berupa pendapat siswa tentang bahan yang lalu yang perlu digunakan dalam pengembangan konsep, atau pendapat siswa tentang tahapan yang perlu dipertimbangkan dalam melangkah, atau isian yang berupa bilangan atau kata kunci dalam menuju tujuan penemuan tersebut. Bagian-bagian yang perlu ditanyakan tadilah yang perlu dihapus dari catatan penjelasan lengkap, dan dalam lembar kerja diungkapkan dalam bentuk tempat kosong atau titik-titik yang harus diisi oleh siswa.
Seberapa banyak dan seberapa dalam tingkat pemikiran yang harus digunakan untuk isian atau jawaban siswa, tergantung dari keadaan kelas secara umum atau tergantung dari tingkat kemampuan siswa yang akan mengerjakannya. Jika siswanya siswanya berkemampuan tinggi, pertanyaannya juga berbobot untuk memberikan rangsangan yang masih terjangkau siswa dan tidak sangat mudah bagi mereka. Jika siswanya berkemampuankurang, pertanyan atau tempat kosong yang harus diisi siswa cenderung pada hal-hal yang memerlukan tingkat pemikiran tidak terlalu tinggi.
Dengan demikian maka kemungkinannya adalah:
   Jika lembar kerjanya digunakan secara klasikal, LK iti disususn dengan pertanyaan atau tugas isian yang bervariasi, tidak terlalu tinggi, dan tidak terlalu rendah, namun kiranyadapat dikerjakan oleh sebagian besar siswa.
   Untuk sebuah kelas dapat disusun misalnya tiga jenis tingkat kesukaran LK dengan muatan yang bertujuan sama di titik akhirnya. Perbedaannya adalah terutama pada tingkat dan banyaknya isian atau jawaban yang dituntut atas pertanyaannya. Setiap kelompok siswa mengerjakan LK yang berbeda  sesuai tingkat kemampuan masing-masing. Diharapkan dengan lebih dari satu macam LK ini siswa terlayani sesuai kebutuhannya masing-masing, tetapi lingkup materinya tidak berbeda.

c.       Pemecahan Masalah
Sebagian besar ahli Pendidikan Matematika menyatakan bahwa masalah merupakan pertanyaan yang harus dijawab atau direspon. Mereka menyatakan juga bahwa tidak semua pertanyaan otomatis akan menjadi masalah. Suatu pertanyaan akan menjadi masalah hanya jika pertanyaan itu menunjukkan adanya suatu tantangan yang tidak dapat dipecahkan oleh suatu prosedur rutin yang sudah diketahui si pelaku.
Pada saat memecahkan masalah, ada beberapa cara atau langkah  yang sering digunakan. Cara yang sering digunakan orang dan sering berhasil pada proses pemecahan masalah inilah yang disebut dengan Strategi pemecahan masalah. Setiap manusia akan menemui masalah. Karenanya, strategi ini akan sangat bermanfaat jika dipelajari para siswa agar dapat digunakan dalam kehidupan nyata mereka. Beberapa strategi yang sering digunakan dalam pemecahan masalah :
1)      Membuat diagram.
Strategi ini berkait dengan pembuatan sket atau gambar corat-coret mempermudah memahami masalahnya dan mempermudah mendapatkan gambaran umum penyalesainnya.
2)      Mencobakan pada soal yang lebih sederhana.
Strategi ini berkait dengan penggunaan contoh khusus tertentu pada masalah tersebut agar lebih mudah dipelajari, sehingga gambaran umum penyelesaian yang sebenarnya dapat ditemukan.
3)      Membuat tabel.
Strategi ini digunakan untuk membantu menganalisis permasalahan atau jalan pikiran kita, sehingga segala sesuatunya tidak dibayangkan hanya oleh otak yang kemampuannya sangat terbatas.
4)      Menemukan pola.
Strategi ini berkait dengan pencarian keteraturan-keteraturan. Keteraturan tersebut akan  memudahkan kita menemukan penyelesainnya.
5)      Memecah tujuan.
Strategi ini berkait dengan pemecahan tujuan umum yang hendak kita capai menjadi satu atau beberapa tujuan bagian. Tujuan bagian ini dapat digunakan sebagai batu loncatan untuk mencapai tujuan yang sesungguhnya.
6)      Memperhitungkan setiap kemungkinan.
Strategi ini berkait dengan penggunaan aturan-aturan yang dibuat sendiri oleh si pelaku  selama proses pemecahan masalah sehingga tidak akan ada satupun alternatif yang terabaikan.
7)      Berpikir logis.
Strategi ini berkaitan dengan penggunaan penalaran maupun penarikan kesimpulan yang sah atau valid dari berbagai informasi atau data yang ada.
8)      Bergerak dari belakang.
Dengan strategi ini, kita mulai dengan menganalisis bagaimana cara mendapatkan tujuan  yang hendak dicapai. Dengan strategi ini, kita bergerak dari yang diinginkan lalu menyesuaikannya dengan yang diketahui.
9)      Mengabaikan hal yang tidak mungkin.
Dari berbagai alternatif yang ada, alternatif yang sudah jelas-jelas tidak mungkin agar dicoret/diabaikan sehingga perhatian dapat tercurah sepenuhnya untuk hal-hal yang tersisa dan masih mungkin saja.
10)  Mencoba-coba.
Strategi ini biasanya digunakan untuk mendapatkan gambaran umum pemecahan masalahnya dengan mencoba-coba dari yang diketahui.

d.      Pembelajaran Kooperatif
Pada pembelajaran matematika di kelas, belajar matematika dengan kerja kelompok adalah kelompok kerja yang kooperatif lebih dari kompetitif, meskipun pada suatu keadaan khusus hal tersebut dapat terjadi. Pada kegiatan ini sekelompok siswa belajar dengan porsi utama adalah mendiskusikan tugas-tugas matematika yang diberikan gurunya, saling membantu menyelesaikan tugas atau memecahkan masalah. Kegiatan kelompok kooperatif terkait dengan banyak pendekatan atau metode, seperti eksperimen, investigasi, eksplorasi, dan pemecahan masalah. 
Davidson (1985) mencatat bahwa sejak tahun 1960-an, berbagai jenis belajar berkelompok telah banyak dikembangkan untuk berbagai jenis tugas atau pembelajaran matematika. Slavin (1991) menyatakan bahwa dalam belajar kooperatif, siswa bekerja dalam kelompok saling membantu untuk menguasai bahan ajar. Lowe (1989) menyatakan bahwa belajar kooperatif secara nyata semakin meningkatkan pengembangan sikap sosial dan belajar dari teman sekelompoknya dalam berbagai sikap positif. Keduanya memberikan gambaran bahwa belajar kooperatif meningkatkan kepositipan sikap sosial dan kemampuan kognitif sesuai tujuan pendidikan.
Meskipun dalam praktiknya sering dikeluhkan sebagai suatu kegiatan yang sulit dilaksanakan karena berbagai sebab, namun banyak penelitian yang mendorong terselenggaranya kegiatan belajar secara berkelompok ini. Keuntungan yang ditunjukkan para peneliti adalah keuntungan baik yang menyangkut sikap sosial yang positif maupun meningkatnya hasil belajar.

Jenis-jenis Kerja Kelompok diantaranya adalah :
1) Circle of Learning (Learning together, belajar bersama; Johnson and Johnson, 1987).
Implementasinya sangat umum. Yang dipentingkan kerja bersama, lebih dari sekedar beberapa orang berkumpul bersama. Banyak anggotanya 5 – 6 orang dengan kemampuan akademik yang bervariasi (mixed abilities group). Mereka sharing pendapat dan saling membantu dengan kewajiban setiap anggota sungguh memahami jawaban atau penyelesaian tugas yang diberikan kepada kelompok tersebut.

2) Grup Penyelidikan (Group Investigation: Lazarowitz dkk, 1988; Sharan dkk., 1989).
Model ini  menyiapkan siswa dengan lingkup studi yang luas dan berbagai pengalaman belajar untuk memberikan tekanan pada aktifitas positif para siswa. Ada empat karakteristik pada model ini. Pertama, klas dibagi ke dalam sejumlah kelompok (grup). Kedua, kelompok siswa dihadapkan pada topik dengan berbagai aspek untuk meningkatkan daya kuriositas (keingintahuan) dan saling ketergantungan yang positif di antara mereka. Ketiga, di dalam kelompoknya siswa terlibat dalam komunikasi aktif untuk meningkatkan keterampilan cara belajar. Keempat, guru bertinak selaku sumber belajar dan pimpinan tak langsung, memberikan arah dan klarifikasi hanya jika diperlukan, dan menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Siswa terlibat dalam setiap tahap kegiatan:  (a) mengidentifikasi   topic dan mengorgani-sasi siswa dalam “kelompok peneliti”,            (b) merencanakan tugas-tugas yang harus dipelajari, (c) melaksanakan investigasi, (d) menyiapkan laporan, (e) menyampaikan laporan akhir, dan (f) evaluasi proses dan hasilnya.

3) Co-op co-op (Kagan, 1985.a)
Seperti halnya grup penyelidikan, Co-op co-op berorientasi pada tugas pembelajaran yang “multifaset”, kompleks dan siswa mengendalikan apa dan bagaimana mempelajari bahan yang ditugaskan kepada mereka. Siswa dalam suatu tim (kelompok) menyusun proyek yang dapat membantu tim lain. Setiap siswa mempunyai topik mini yang harus diselesaikan, dan setiap tim memberikan kontribusi yang menunjang tercapainya tujuan kelas. Struktur ini memerlukan cara dan keterampilan bernalar yang cukup tinggi, termasuk menganalisis dan melakukan sintesis bahan yang dipelajari. 
Langkahnya adalah: diskusi klas seluruh siswa, seleksi atau penyusunan tim siswa untuk mempelajari atau menyelesaiakan tugas tertentu, seleksi tim – topik, seleksi topik mini (oleh anggota kelompok di dalam kelompok/timnya oleh mereka sendiri), penyiapan topik mini, presentasi topik mini, persiapan presentasi tim, presentasi tim, dan kemudian evaluasi oleh siswa dengan bimbingan guru.

4) Jigsaw (pertama kali oleh Aronson dkk., 1978).
Pada model ini, kelas dibagi menjadi beberapa kelompok dengan 4 – 6 orang. Setiap kelompok oleh Aronson dinamai kelompok Jigsaw (gigi gergaji). Pelajaran dibagi dalam beberapa bagian/seksi sehingga setiap siswa mempelajari salah satu bagian pelajaran tersebut. Semua siswa dengan bagian pelajaran yang sama belajar bersama dalam sebuah kelompok, dan dikenal sebagai “counterpart group” (CG). Dalam setiap CG siswa berdiskusi dan mengklarifikasi bahan pelajaran dan menyusun sebuah rencana bagaiama cara mereka mengajar kepada teman mereka dari kelompok lain Jika sudah siap, siswa kembali ke kelompok Jigsaw mereka, dan mengajarkan bagian yang dipelajari masing-masing kepada temannya dalam kelompok Jigsaw tersebut. Hal ini memberikan kemungkinan siswa terlibat aktif dalam diskusi dan saling komunikasi baik di dalam grup Jigsaw maupun CG. Keterampilan bekerja dan belajar secara kooperatif dipelajari langsung di dalam kegiatan pada kedua jenis pengelompokan. Siswa juga diberikan motivasi untuks elalu mengevaluasi proses pembelajaran mereka.
Ada beberapa variasi dalam jenis Jigsaw ini. Jigsaw Aronson dikenal sebagai Jigsaw I, sedangkan berikutnya dikembangkan antara lain oleh Slawin (1980, Jigsaw II) dan Kagan, 1985, Jigsaw III. Jigsaw juga menekankan segi kompotisi antar grup. Dengan demikian baik kooperatif maupun persaingan individual tetap muncul. Jigsaw III utamanya digunakan dalam klas dengan dua bahasa (bilingual classroom).

5) Numbered Heads Together (NHT, Kagan 1985. b)
NHT merupakan kegiatan belajar kooperatif dengan empat tahap kegiatan. Pertama, siswa dikelompokkan menjadi kelompok @ 4 orang, setiap anggota diberi satu nomor 1, 2, 3, dan 4. Kedua, guru menyampaikan pertanyaan. Ketiga, Guru memberitahu siswa untuk “meletakkan kepala mereka bersama”, untuk meyakinkan bahwa setiap anggota tim memahami jawaban tim. Keempat, guru menyebut nomor (1, 2, 3, atau 4), dan siswa dengan nomor yang bersangkutanlah yang harus menjawab.
Setiap tim terdiri dari siswa yang berkemampuan bervariasi: satu berkemampuan tingi, dua sedang dan satu rendah. Di sini ketergantungan positif juga dikembangkan, dan yang kurang terbantu oleh yang lebih. Yang berkemampuan tinggi bersedia membantu, meskipun mungkin mereka tidak dipanggil untuk menjawab. Bantuan yang diberikan dengan motivasi tanggung jawab atau nama baik kelompok. Yang paling lemah diharapkan sangat antusias dalam memahami permasalahan dan jawabannya kartena merek merasa merekalah yang akan ditunjuk guru untuk menjawab.

6) Student Teams-Achievement Division *STAD, Slavin, 1980)
Bagian esensial dari model ini dalah adanya kerjasama anggota kelompok dan kompetisi antar kelompok. Siswa bekerja di kelompok untuk belajar dari temannya serta “mengajar” temannya.

7) Team Assisted-Individualization atau Team Accelarated Instruction (TAI)
Slavin (1985) membuat model ini dengan beberapa alasan. Pertama model ini mengkombinasikan keampuhan kooperatif dan program pengajaran individual. Kedua, model ini memberikan tekanan pada efek sosial dari belajar kooperatif.  Ketiga, TAI disusun untuk memecahkan masalah dalam program pengajaran, misalnya dalam hal kesulitan belajar siswa secara individual.
Model ini juga merupakan modelkelompok berkemampuan heterogen. Setiap siswa belajar pada aspek khusus pembelajaran secara individual. Anggota tim menggunakan lembar jawab yang digunakan untuks saling memeriksa jawaban teman se-tim, dan semua bertanggung jawab atas keseluruhan jawaban pada akhir kegiatan sebagai tanggung jawab ebrsama. Diskusi terjadi pada saat siswa saling mempertanyakan jawaban yang dikerjakan teman se-tim-nya.

8)  Teams Games-Tournament (TGT, De Vries dan Slavin, 1978).
TGT menekankan adanya komperisi. Kegiatannya seperti STAD, tetapi kompetisi dilakukan dengan cara membandingkan kemampuan antar anggota tim dalam suatu bentuk “turnamen”

5.   Kesimpulan
Sesuai tuntutan perundang-undangan yang berlaku dan profesionalitas guru, maka dapat disimpulkan bahwa untuk meningkatkan mutu lulusan agar memiliki kompetensi yang tinggi sehingga mampu bersaing di tingkat global, maka para guru perlu mengubah paradigma guru mengajar menjadi siswa belajar dengan penerapan pembelajaran aktif atau PAKEM. Dengan demikian diharapkan para lulusan dikemudian hari akan lebih kritis, kreatif, dan mempunyai kemampuan life skill yang tinggi.